Jakarta. | Serangan ransomware Lockbit 3.0 yang terjadi pada Juni 2024 di Indonesia mengakibatkan gangguan pada berbagai layanan publik di Server Pusat Data Nasional (PDN). Akibat dari peristiwa tersebut, 210 server instansi pemerintah Indonesia terhambat, dan pelaku menuntut biaya pemulihan sebesar 8 juta dollar AS atau 131 miliar, demikian disampaikan Humas Universitas Pertamina Alyza, Selasa (4/7/24).
Nyatanya, Indonesia bukan satu-satunya negara yang terkena serangan tersebut. Pada kuartal kedua tahun 2023, Interpol merilis bahwa satu dari setiap 44 organisasi di Asia-Pasifik menjadi sasaran serangan ransomware.
Di kawasan ASEAN, sekitar 65% organisasi mengalami serangan ransomware pada tahun 2022, dan 45% dari mereka membayar tebusan. Proyeksi kerugian tahunan akibat ransomware di kawasan ini bisa mencapai sekitar $265 miliar pada tahun 2031, dengan peningkatan biaya tahunan sekitar 30% setiap tahunnya.
Ransomware sendiri merupakan malware (Malicious Software) yang mengunci atau mengenkripsi data pada sistem korban, sehingga data tidak dapat diakses. Pelaku serangan kemudian meminta tebusan untuk memberikan kunci dekripsi yang diperlukan untuk memulihkan akses ke data tersebut (CISA, 2023).
“Dalam era digital, keamanan siber menjadi isu krusial yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan keamanan nasional. ASEAN telah memulai berbagai inisiatif seperti ASEAN Cybersecurity Cooperation Strategy untuk meningkatkan koordinasi dan kapasitas keamanan siber di kawasan tersebut,” ungkap Dr. Iqbal Ramadhan, M.I.Pol., ahli keamanan siber Universitas Pertamina (UPER) yang merupakan Dosen Hubungan Internasional UPER.
Dalam riset yang dilakukan Iqbal, disebut tiga tantangan utama dalam kerja sama kemanan siber. Yaitu perbedaan regulasi dan kebijakan, kapabilitas teknologi, dan transparasi. Ini tertuang dalam penelitiannya bertajuk ASEAN-China Cybersecurity Cooperation; Challenges and Opportunities pada tahun 2023.
Iqbal menuturkan bahwa kawasan Asia Tenggara berpotensi besar sebagai sarana kriminal, khususnya pada lingkup siber. Hal tersebut ditengarai akibat kondisi wilayah Asia Tenggara yang menjadi pusat perdagangan digital dengan total pendapatan sebesar 1,7 triliun dollar AS. Indonesia sendiri menyumbang sebesar 3,71 miliar dollar AS dalam keuntungan perdagangan digital.
Melalui karyanya yang diterbitkan dalam Jurnal Asia Pacific Studies, Iqbal menyampaikan bahwa serangan kejahatan siber juga dapat mengganggu stabilitas suatu wilayah. Ancaman kejahatan siber dinilai dapat menyebarkan rasa takut yang dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan.
Riset Iqbal menguraikan bahwa kemampuan teknologi dalam mitigasi ancaman siber dapat dikembangkan melalui pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), kerja sama multilateral dan mengatur strategi kebijakan.
“Dilema perkembangan teknologi yang dapat berdampak pada ancaman siber tidak bisa diatasi dengan sistem self-help atau kemandirian. Setiap negara harus bekerja sama dalam membangun sistem keamanan, sharing technology, hingga sharing information untuk mendapatkan strategi dan kebijakan yang ideal dalam meningkatkan keamanan dan pertahanan siber negara,” tutup Iqbal.
Sebagai informasi, saat ini kampus besutan PT Pertamina (Persero) tengah membuka peluang untuk berkuliah di UPER. Bagi calon mahasiswa yang tertarik, dapat mengakses informasi selengkapnya melalui https://pmb.universitaspertamina.ac.id/.
(ish)